GarisTanah. Puisi yang baik kerap lahir dari penyair sejati. Ya, penyair sejati. Ia tidak akan terburu-buru menuangkan gagasan dan pemikirannya dalam puisi. Setiap objek yang dilihat, dirasa, dijalani, diketahui masuk ke ruang pikir yang dalam, lalu, diramu hingga mencapai titik maksimal. Jadilah puisi yang sebenar-benarnya puisi: menggugah
DRAMATISASI PUISI “TANAH AIR MATA” ADAPTASI PUISI TANAH AIR MATA KARYA SUTARDJI CALSUM BAHRI KARYA Irfan Walang Pemain Irma Nur Afifah Alwama Mardianah Seli Afriani Julita Sari Indi Herdiyanti Yuliani Aryani Ella Nurwilianingsih Team Produksi Sutradara Fuji Dwi Putri Wakil Sutradara Yossie Winar Ketua Produksi Yola Septiana Asisten Produksi Leni Setiawati Bendahara Ratna Nur Rohmah Sekertaris Ummi Ainun Wakil Sekertaris Lilla Amalia F ARTISTIK LOGISTIK HUMAS Amaliah 1. Nita Afrianita 1. Aryani Lestari P Lisa Octavia 2. Hesti Novianti 2. Suhihati Janah Manusia selalu di hadapkan pada rahasia-rahasia. Kerahasiaan itu membuatnya menunggu. Menunggu? Apalah arti menunggu? Menunggu hanya pekerjaan konyol sekaligus membosankan, dan kita terjebak pada pilihan, menunggu hingga bosan atau mati sia-sia tanpa hakikat? Opening iringan musik Empat pemain masuk kedalam panggung properti sudah standbay di atas panggung, meja dan payung. Pemain I memegang payung lakon apa yang akan kita mainkan hari ini? Semua pemain berputar satu sama lain Pemain II memegang payung tentang korupsi saja! Semua pemain berputar satu sama lain Pemain III memegang payung bagaimana tentang banjir saja! Semua pemain berputarsatu sama lain Pemain IV memegang payung ya. Banyak sandiwara di bumi ini. pada hakikatnya Hidup hanyalah sandiwara, dan kita terjebak dalam sebuah sandiwara. Pura-pura baik, pura-pura bijak, pura-pura mendidik, pura-pura… pura-ura… semua pura-pura! Pemain I memegang payung lalu lakon apa yang akan kita main kan hari ini? Pemain IV menyanyikan lagu indonesia raya Pemain II membaca text lagu indonesia raya Pemain III kami persembahkan dramatisasi puisi TANAH AIR MATA dari SMAN 1 Anyer, selamat menyaksikan. berputar menghitari panggung dan keluar satu persatu Babak I Narator kini bumi semakin tua, udara semakin panas. Bangunan raksasa dimana-mana? Banyak petani yang kehilangan tanahnya. Akan menjadi apa tanah air kita. Selayaknya kita para pemuda harus menjaga dan merawat Tanah air kita, yang sudah di perjuangkan oleh nenek moyang kita terdahulu. Panggung masih dalam keadaan kosong dari para pemain. Hanya beberapa properti. seprti bak berisi air, sampah pelastik, kardus-kardus bekas, koran bekas dan satu meja panjang tertutup kain warna hitam. Enam orang pemain masuk dengan iringan musik, dengan jalan gontai berirama, dengan gerakan yang sama, persis seperti iringan pekuburan orang mati. Setelah posisi pada tengah panggung, salah satu dari pemain jatuh tak sadarkan diri. Sedangkan yang lain terus mengikuti nada yang sama dengan gerakan yang sama pula. Hingga akhirnya kelima pemain tersebut meniggalkannya seorang diri. Pemain I ekspresi kehausan Tanah airmata tanah tumpah darahku mata air airmata kami airmata tanah air kami di sinilah kami berdiri menyanyikan airmata kami di balik gembur subur tanahmu kami simpan perih kami di balik etalase megah gedung-gedungmu kami coba sembunyikan derita kami Babak III Tujuh orang pemain masuk kedalam panggung mengenakan payung diiringi musik dengan menggerakan tubuh berirama, di lakukan serempak bersamaan menaburkan bunga. 1 menit salah satu dari kelima pemain melihat pemain I dalam keadaan terkulai ekspresi heran, penasaran menghampiri pemain I. pemain I sadar, ekspresi sedih Tanah airmata tanah tumpah darahku mata air airmata kami airmata tanah air kami di sinilah kami berdiri menyanyikan airmata kami di balik gembur subur tanahmu kami simpan perih kami di balik etalase megah gedung-gedungmu kami coba sembunyikan derita kami Pemain III sd VII membacakan puisi bersamaaan Tanah airmata tanah tumpah darahku mata air airmata kami airmata tanah air kami pemain VIII ekspresi menggebu di sinilah kami berdiri menyanyikan airmata kami pemain II sd VIII menyanyikan lagu tanah air ku tidak kulupakan Pemain I di balik gembur subur tanahmu kami simpan perih kami di balik etalase megah gedung-gedungmu kami coba sembunyikan derita kami pemain II tapi perih tak bisa sembunyi pemain III ia merebak kemana-mana pemain IV bumi memang tak sebatas pandang pemain V dan udara luas menunggu pemain VI namun kalian takkan bisa menyingkir pemain VI ke manapun melangkah pemain VII kalian pijak airmata kami berlarian sambil mengepakan tangan. pemain VII ekspresi menggebu ke manapun terbang kalian kan hinggap di air mata kami ke manapun berlayar kalian arungi airmata kami Pemain II sd VIII mengepung pemain I pemain I marah kalian sudah terkepung takkan bisa mengelak takkan bisa ke mana pergi menyerahlah pada kedalaman air mata kami. semua pemain terjatuh. 5 detik pemain I sd VIII melambaikan tangan satu persatu. 10 detik bangun satu persatu, menari, mengikuti irama lagu dengan serempak bersamaan. 30 detik kemudian mengambil tongkat dan menghentak-hentakan bersamaan. Sambil bernyanyi Indonesia Tanah air beta bersama-sama. TAMAT DONG 😀
ketidakadilandalam puisi “tanah air mata” karya sutardji calzoum bahri January 2021 LITERASI Jurnal Ilmiah Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah 11(1)
TimPembacaan Puisi:1. Nama: Nilam MunawarohNIM: 19201244007Prodi/Fakultas: PBSI/FBS2. Nama: Khasanah RahmawatiNIM: 19108241158Prodi/Fakultas: PGSD/FIP3. Nam

PuisiPuisi Gimien Artekjursi; penulis naskah, sutradara, pelukis, yang lahir di Cimahi, Jawa Barat, 14 Oktober 1976. Ia menetap di Bali. (2006) kolaborasi kecak dan tari dengan sutradara William Maranda. Menjadi Sutradara dalam Tanah Air Mata (2003), sutradara dan penulis naskah film indie Hitam (2006), The Voice (2007), menyutradarai

\n\n\n\n \n naskah puisi tanah air mata

1linguistika akademia vol.2, no.1, 2013, pp. 60~71 issn: otomatisasi dalam penerjemahan puisi tanah air mata karya sutarji calzoum bacrie oleh john m Author: Liani Hermanto 132 downloads 184 Views 61KB Size

Kalianpijak air mata kami Kemana pun terbang Kalian hinggap di air mata kami Kemana pun berlayar Kalian arungi air mata kami Kalian sudah terkepung Takkan bisa mengelak Takkan bisa kemana pergi Menyerahlah pada kedalaman air mata kami Sumber: Tidak Ada Nama. 2002. Majalah Sastra Horison: Edisi Khusus Puisi Internasional Indonesia Tahun XXXV no. 4 CYhrgQ.
  • 65cy9384l7.pages.dev/125
  • 65cy9384l7.pages.dev/332
  • 65cy9384l7.pages.dev/203
  • 65cy9384l7.pages.dev/508
  • 65cy9384l7.pages.dev/453
  • 65cy9384l7.pages.dev/526
  • 65cy9384l7.pages.dev/287
  • 65cy9384l7.pages.dev/473
  • naskah puisi tanah air mata